Rabu, 09 November 2011

  • Mendekati Zinakah Pacaran Islami?

Sebagian penghujat mendakwa: “Maraknya aktivitas pacaran —yang diembel-embeli kata islami— sesama pengurus pengajian di sekolah atau kampus lebih diakibatkan karena ketidaktahuan teman remaja tentang batasan bergaul dengan lawan jenis. … Pengurus lain banyak yang protes, yang bersangkutan anteng aja seperti nggak merasa bersalah.” (JNC: 74) Sebagian dari mereka melancarkan serangan: “Mau pake modus
operandi belajar berdua? Ngajakin pengajian, hihihi… alesan doang, tuh! Yang kayak gitu mah, sudah kena hukum [haramnya] berkhalwat, tahu? … Mau barengan? … Weleh, itu juga kena hukum [haramnya] ikhtilat —campur-baur laki-perempuan. Hayooo! Gimana lagi, coba?” (KHP: 153) Begitulah dakwaan dan serangan mereka. Terhadap itu semua, Bab 3 ini berupaya membela pelaku ‘pacaran Islami’, terutama pengurus pengajian yang dijadikan ‘terdakwa’.
  • Percampur-bauran Itu Sunnah Rasul

Tentang ikhtilat, sebagian penghujat mendakwa: “Tak sedikit yang mengatasnamakan kegiatan masjid, namun mereka bercampur baur dalam satu kantor yang sempit tanpa hijab [tabir pemisah]. … Sungguh perilaku yang melecehkan Islam.” (PIA: 24) Kata pendakwa, “Ikhtilat adalah perilaku yang jelas-jelas mendekatkan diri pada perzinaan.” (PIA: 19)
Mereka kemukakan argumentasi: “Sangat sulit menghindari kontak fisik jika bergerombol bercampur-baur dengan lawan jenis. Padahal Rasulullah saw. mengharamkan bersentuhan kulit antarlawan jenis. Rasulullah saw. bersabda: ‘Sesungguhnya salah seorang di antaramu ditikam di kepalanya dengan jarum dari besi adalah lebih baik daripada menyentuh seseorang yang bukan muhrimnya.’ (HR. Tabrani) ‘Tangan Rasulullah saw. tidak pernah sama sekali menyentuh tangan perempuan di dalam bai’at; bai’at Rasulullah dengan mereka adalah berupa ucapan.’ (HR. Bukhari) Dengan demikian bisa dimengerti mengapa Rasulullah saw. melarang ikhtilat atau campur-baur antarlawan jenis.” (PIA: 42) Tidak kelirukah argumentasi mereka ini?
Sudahkah mereka menghimpun semua hadis shahih dan hasan mengenai ikhtilat? (Lihat BMHN: 106.) Kalau sudah menghimpun, sudahkah mereka berusaha menjamak (mengkompromikan) dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan? Kalau menjamak itu mustahil, sudahkah mereka mentarjih (mengutamakan dalil yang lebih kuat)? (Lihat MTKDS: 9-73 dan BMHN 118-120.) Tampaknya itu semua belum dilakukan.
Yang terlihat sudah melakukannya dengan cukup lengkap, antara lain, ialah Abdul Halim Abu Syuqqah. Dari pengkajiannya dilaporkan, wajibnya pemakaian tabir pemisah itu khusus bagi istri Nabi. (KW3: 83-167) Tercatat, ada lebih dari 300 hadits shahih Bukhari dan Muslim yang menunjukkan terjadinya ikhtilat pada diri Rasulullah saw. dan para shahabat “dalam berbagai bidang kehidupan”. (KW1: 15) Hampir tidak ada satu pun lapangan kehidupan yang di dalamnya tidak terdapat perbauran antarlawan-jenis. Abu Syuqqah belum mendapati satu nash pun yang mengisyaratkan, meski sekadar isyarat, untuk menjauhi ikhtilat. Apakah yang terlibat dalam ikhtilat itu hanya dari kalangan tua-jompo atau dalam kondisi darurat saja? Tidak. Sebagian besar nash tersebut bercerita tentang orang dewasa, sebagiannya remaja, dan terjadi berdasarkan kemauan masing-masing. (KW2: 206-207) Jadi, menurut kajian tersebut, perbauran antarlawan-jenis itu kebiasaan yang dijalankan oleh Nabi saw. dan para shahabat.
Lantas, terlarangkah kontak fisik (bersentuhan kulit) di dalam ikhtilat? Apakah “zinanya tangan adalah menyentuh tubuh wanita yang bukan muhrim”? (PDKI: 38) Benarkah “sentuhan tangan haram hukumnya” dan “Islam tidak membenarkan laki-laki dan perempuan bersentuhan kulit”? (PIA: 50) Mari kita periksa.
Pertama, kutipan ‘Hadits Tabrani’ tadi perlu dikoreksi dulu. Di kitab Majma’ az-Zawâid (4: 326) dan kitab Shahih al-Jami’ ash-Shaghir (hadits no. 4921), kata yang digunakan adalah “yang tidak halal baginya”, bukan “yang bukan muhrim”. Mengapa perlu dikoreksi? Karena “orang yang tidak halal baginya” tidak selalu dapat ditakwilkan sebagai “orang yang bukan muhrim”. Setelah koreksi ini, kita bisa memeriksanya dengan lebih teliti.
Ternyata, kami dapati, hadits tersebut bersifat zhanni (meragukan), baik dari segi tsubut (sumber) maupun dilalah (petunjuk). Hadits yang bersanad hasan tersebut zhanni-tsubut karena “tidak terlalu dikenal pada masa para Sahabat dan murid-murid mereka” (BMHN: 178). Selain itu, yang lebih ‘meragukan’, hadits itu pun zhanni-dilalah karena mencantumkan dua ungkapan yang bermakna ganda, yaitu ‘menyentuh’ dan ‘yang tidak halal baginya’.
Ungkapan ‘orang yang tidak halal baginya’ di sini bisa mengacu pada ‘setiap orang yang bukan muhrim’, tetapi bisa pula berarti ‘sebagian nonmuhrim yang dalam keadaan tertentu tidak halal bersentuhan kulit dengannya’. Sedangkan kata ‘menyentuh’, dalam banyak nash, merupakan majâz (kiasan). Contohnya, menurut kesepakatan para mufassir dan ahli fiqih, kata ‘menyentuh’ pada Surat al-Ahzaab [33] ayat 49 dan pada Surat Ali ‘Imran [3] ayat 47 berarti “melakukan hubungan seksual”. (BMHN: 178-179)
Untuk mengetahui maksud hadits yang ‘meragukan’ tersebut, kita harus merujuk ke hadits-hadits lain yang qath’i (meyakinkan) mengenai kontak fisik dalam ikhtilat. Adakah? Ya!
Di antaranya, dari Anas bin Malik r.a., ia berkata, “Seorang perempuan sahaya [nonmuhrim] dari sahaya-sahaya warga Madinah menggandeng tangan Rasulullah saw. dan pergi bersama beliau ke tempat mana saja yang ia [perempuan itu] kehendaki.” (HR Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Majah) Hadits shahih ini menggunakan kata-kata yang lugas, bermakna tunggal, sehingga bersifat qath’i. Meyakinkannya hadits ini dari segi dilalah menjadi tampak lebih jelas dengan adanya tambahan keterangan di dalam versi Ahmad dan Ibnu Majah bahwa Rasulullah saw. tidak berusaha melepaskan tangan perempuan tersebut. (FBSSB13: 420, BMHN: 178-180) Contoh kontak fisik lainnya, menurut hadits-hadits riwayat Bukhari dan Muslim, rambut kepala Nabi saw. dan shahabat pernah disisir oleh lawan-jenis nonmuhrim. (Lihat KW2: 113-120 dan MCMD: 12-14.) Ini semua menunjukkan, kontak-kontak fisik tersebut tidak diharamkan!
Kemudian, lantaran antara hadits ‘meragukan’ yang mereka jadikan hujjah dan hadits-hadits ‘meyakinkan’ yang baru saja kita kemukakan tampaknya (sepintas lalu) berbeda, kita perlu menggabungkannya secara proporsional, sehingga semuanya “dapat diamalkan” dan “saling menyempurnakan” (BMHN: 118). Hasilnya, kita bisa menerima dua kemungkinan maksud dari hadits Tabrani di atas. Pertama, kita diharamkan bersenggama dengan setiap orang yang bukan suami/istri kita. Kedua, kita dilarang bersentuhan-kulit dengan sebagian lawan-jenis nonmuhrim dalam keadaan tertentu.
Salah satu contoh ‘keadaan tertentu’ itu terdapat dalam hadits shahih riwayat Bukhari (dan Muslim serta Malik, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad), yang telah dinukil si pendakwa tadi. Ternyata, tangan Nabi saw. tidak pernah bersentuhan dengan tangan nonmuhrim dalam bai’at walau beliau mengalaminya dalam kesempatan lain. Abu Syuqqah menerangkan, Rasulullah saw. tidak menyentuh tangan lawan-jenis di dalam bai’at itu lantaran “tidak merasa aman dari fitnah”. Sedangkan dalam keadaan lain, seperti sewaktu rambut kepala beliau disisir nonmuhrim, beliau “merasa aman dari fitnah”. (KW2: 120-121)
Jadi, kalau Anda tidak merasa aman dari fitnah bila bersentuhan kulit dengan lawan-jenis, silakanlah Anda berusaha menghindarinya. Namun, janganlah Anda vonis haram berjabat-tangannya atau pun bergandeng-tangannya pasangan-pasangan yang merasa aman dari fitnah! Sekalipun begitu, kita sendiri jangan asal-asalan melakukan kontak fisik dengan dalih ‘merasa aman dari fitnah’. Sungguh, perasaan kita “akan diminta pertanggungjawaban” (al-Israa’ [17]: 36).

Punya Kekasih-Tetap Tidak Mendekati Zina

Seorang gadis yang merasa tak aman dari dosa ‘zina hati’ menyampaikan curhat sebagai berikut: “Akhir-akhir ini saya sering mendapatkan SMS begini [I love you because Allah], bahkan tengah malam dan dari seorang ikhwan yang semestinya paham bahwa SMS-SMS begini bikin salah tafsir. Bukannya saya GR. Saya takut zina [hati]… Saya mending dirajam di dunia deh, daripada saya terus-terusan nyerempet-nyerempet zina begini.” (KHP: 225)
Salah satu dalil yang diajukan oleh mereka yang sepaham dengan si gadis itu adalah ayat: “Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya, Ia menciptakan pasangan-pasangan bagimu dari jenis kamu sendiri, supaya kamu hidup tenteram dengan mereka, dan Ia menanamkan rasa cinta dan kasih di antara kalian.” (ar-Ruum [30]: 21.)
Lantas, dengan adanya ayat ini, sebagian pendakwa menyimpulkan, “jelaslah Islam tidak mengenal cinta sebelum perkawinan.” (PDKI: 34) Jelas? Tidak! Mengapa kita katakan ‘tidak jelas’? Sekurang-kurangnya ada dua alasan. Pertama, kata ‘azwâjâ’ pada ayat ini bersifat zhanni karena bermakna ganda. Walau banyak mufassir menerjemahkannya sebagai ‘istri-istri’, sebagian lainnya menerjemahkannya dengan makna yang lebih luas sebagai ‘pasangan-pasangan’, baik di dalam pernikahan maupun di luarnya. (Lihat QTT2: 1032.) Kedua, meskipun terjemahan ‘istri-istri’ lah yang kita pakai, penyimpulan tadi tetap belum dapat kita terima karena terlihat mengandung sesat-pikir lantaran ‘term pada kesimpulan tidak konsisten dengan term premisnya’. (Lihat JSP: 38.)
Memang, dengan asumsi tersebut, ‘cinta di dalam perkawinan’ (adalah) ‘diakui oleh Islam’. Jelas, ‘cinta sebelum perkawinan’ bukanlah ‘cinta di dalam perkawinan’. Lantas, apakah ‘cinta sebelum perkawinan’ tidak ‘diakui oleh Islam’? Belum tentu. Term pada kesimpulan yang negatif itu tidak konsisten dengan term premisnya yang positif. Jadi, ‘cinta sebelum perkawinan’ belum tentu tidak ‘diakui oleh Islam’.
Sulit menangkap kesesat-pikiran penyimpulan mereka tersebut? Contoh lain yang sederhana berikut ini mungkin dapat mempermudah pemahaman Anda: “Hamka (adalah) manusia. Kita bukanlah Hamka. Jadi, kita bukan manusia?”
Di samping penyimpulan yang keliru itu, berdasarkan Surat ar-Ruum ayat 21 pula mereka lakukan penyimpulan lain yang tampaknya juga sesat-pikir. Argumentasi mereka, dengan adanya ‘virus merah-jambu’ pada seseorang yang pacaran, “dia nggak jadi tambah tenteram, e… malah tambah kacau. Padahal kan, Allah berfirman bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan supaya merasa tenteram satu sama lain.” (KHP: 171) Lalu mereka simpulkan, “Pacaran adalah pemenuhan yang salah akan kebutuhan fitrah manusia.” (KHP: 171)
Dalam pengamatan kami, argumentasi mereka tersebut sesat-pikir lantaran ‘kesimpulan tidak partikular’. Kelirunya kesimpulan yang tidak partikular, kata Mundiri, sering terjadi ketika ada “kecenderungan untuk melebih-lebihkan masalah” (JSP: 35). Seharusnya, kesimpulannya: Sebagian pacaran adalah pemenuhan yang salah akan kebutuhan fitrah manusia. (Sebagian perkawinan pun merupakan pemenuhan yang salah akan kebutuhan fitrah manusia. Mungkin inilah salah satu sebab mengapa perceraian dihalalkan dan hukum pernikahan bisa makruh atau bahkan haram dalam keadaan tertentu, walau sunnah atau pun wajib dalam keadaan lain.)
Selain berdasarkan ayat dari Surat an-Nuur tadi, mereka pun berlandaskan sebuah hadits shahih tentang berpahalanya penempatan sperma di tempat yang halal. Lalu mereka simpulkan, “Islam hanya melegalisir percintaan sesudah perkawinan karena dari percintaan di dalam perkawinan inilah terdapat [penyaluran] nafsu syahwat yang dirahmati Allah.” (PDKI: 109) Namun, penyimpulan tersebut kami pandang sesat-pikir juga, kali ini lantaran ‘kekeliruan dalam arus hubungan’. (Lihat JSP: 41-42.)
Memang, hanya di dalam perkawinan kita sajalah terdapat penyaluran nafsu syahwat kita yang dirahmati Allah. Jelas, penyaluran nafsu syahwat yang dirahmati Allah itu percintaan yang Islami. Lantas, apakah percintaan yang Islami hanyalah yang di dalam perkawinan? Belum tentu. Mengapa? Karena pada pacaran atau percintaan di luar perkawinan belum tentu ada penyaluran nafsu syahwat.
Mungkin, mereka berargumen, “Semua aktivitas pacaran selalu menjurus pada seks.” (KHP: 165-166) “Bagaimana tidak? Dalam aktivitas ini, semua hal mubah (boleh) hukumnya; berboncengan, menyentuh, bahkan berciuman pun, saat ini sudah lumrah bahkan lebih dari itu.” (KHP: 139) Benarkah argumen begitu? Tidak.
Mengapa argumen mereka tersebut kami pandang tidak benar? Karena aktivitas pada pacaran menurut definisi baku bukanlah yang disebutkan itu, melainkan “bercintaan”, sedangkan “bercintaan” tidaklah identik dengan aktivitas seksual. Walau ada orang yang menyamakan “bercinta” atau “making love” dengan bersenggama, kita tidak bependapat begitu. Kendati menurut Sigmund Freud, tokoh psikoanalisis abad-20, “cinta merupakan keinginan seksual yang tertunda,” (PDKI: 58) kita berpandangan lain.
Mereka sendiri mengatakan, “Cinta adalah kebijaksanaan. Penghormatan dan penghargaan terhadap martabat orang lain.” (KHP: 258) Bahkan, mereka yakin, “seks tidak sama dengan cinta. … Cinta adalah perwujudan dari kasih sayang, sementara ngeseks adalah aktivitas biologis.” (JNC: 77) Contohnya pun telah mereka kemukakan: Seorang pemuda berusia 19 tahun “melakukan senggama dua kali sebulan. Partnernya adalah teman-teman sendiri, janda-janda yang kesepian atau tante. [Tetapi] ia tidak pernah … bersenggama dengan pacarnya sendiri.” (PDKI: 54-55) Jadi, pacaran tidak “selalu menjurus pada seks” dan karenanya tidak harus mendekati zina.
Bolehjadi, dalil-dalil aqli tersebut beserta dalil-dalil lain yang kami ungkap sejauh ini belum cukup meyakinkan Anda untuk menyatakan bahwa pacaran pada hakikatnya tidak mendekati zina dan bahwa punya kekasih-tetap bukanlah ‘zina hati’. Mungkin Anda kira, “zinanya hati adalah membayangkan dan mengkhayalkan … yang bukan muhrim” (PDKI: 37-38).
Kalau begitu, sebaiknyalah Anda lebih mencermati pesan Allah bahwa “Tiada dosa bagimu jika … kamu pelihara [sesuatu] itu di dalam kalbu. Allah mengetahui bahwa kamu teringat-ingat kepada mereka.” (al-Baqarah [2]: 235) Dari ayat ini kita pahami, ‘mengingat-ingat’ (merindukan, membayangkan, mengkhayalkan, dsb) kepada nonmuhrim bukanlah ‘zina hati’ dan bukan pula dosa.
Lantas, apa yang dimaksud dengan kata “sesuatu” yang bila kita pelihara di dalam hati bukan tergolong dosa dan bukan ‘zina hati’? Sebagian ulama menafsirkannya sebagai ‘keinginan untuk meminang’, sedangkan sebagian lainnya, termasuk Yusuf Ali dan Abu Syuqqah, menafsirkannya dengan lebih luas sehingga mencakup ‘asmara pranikah’. (Lihat QTT1: 94 dan KW5: 76-77.)
Yang menarik perhatian kita, dua macam penafsiran tersebut sama-sama tidak menolak pemahaman bahwa punya ‘kekasih-tetap’ (sekurang-kurangnya dalam arti ‘seorang lawan-jenis yang dirindukan secara tetap’) bukanlah dosa dan bukan ‘mendekati zina’ pula, walaupun belum diikat dengan diterimanya peminangan. Pengertian itu diperkuat oleh hadits di bawah ini.
Ibnu Abbas mengabarkan, seorang lelaki datang kepada Nabi Saw. lalu berkata, “Kami memelihara seorang gadis yatim. Ia dilamar oleh seorang lelaki miskin dan seorang lelaki kaya. Gadis itu lebih condong pada lelaki miskin, sementara kami condong pada lelaki kaya.” Kemudian Nabi Saw. bersabda, “Tiada [sesuatu] yang dapat dinilai [lebih berharga] bagi dua orang yang saling mencintai kecuali perkawinan.” (HR Ibnu Majah dan al-Hakim) Di hadits ini tersirat, Rasulullah saw menghargai orang yang punya ‘kekasih-tetap’ (dalam arti ‘seorang lawan-jenis yang dicintai secara tetap’) walaupun belum diikat dengan diterimanya peminangan. Nilai asmara pranikah itu bahkan dipandang melebihi harta dan segala kesenangan duniawi lainnya. (Asmara pranikah hanya kalah dari yang di dalam nikah.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar